Aplikasi E-Sertifikasi
Aplikasi Sinaberkat
Peng Sinaberkat
Pelayanan
Regulasi
MEMECAH TEMBOK LEVELLING OFF PANGAN
Admin | 20 Oct 2015 | berita

Nilai produktivitas tanaman adalah idola petani karena merupakan variabel produksi yang sangat berpengaruh pada peningkatan pendapatan dan mudah di kontrol. Hal yang sama untuk harga tapi hampir tak bisa dikontrol petani. Hal pertama yang selalu ditanyakan petani jika hendak menanam suatu komoditi adalah produktivitasnya. Pertanyaan selanjutnya adalah pasar, mutu, daya adapsi, ketahanan terhadap serangan OPT dan seterusnya, walaupun keputusan untuk menanam mungkin hasil analisis dari variabel-variabel tersebut. Dengan demikian nilai produktivitas merupakan salah satu pemicu dalam pengembangan tiap komoditi pangan. Untuk itulah diciptakan benih-benih unggul bermutu, benih hibrida dan transgenik serta berbagai komponen teknologi produksi lain untuk mendukungnya.

Hampir tidak mungkin kita berbicara agribisnis, produksi, peningkatan pendapatan petani dan revitalisasi pertanian tanpa berbicara produktivitas. Diskusi tentang efisiensi dan kualitas serta kontinuitas produksi juga dimulai dari produktivitas.

Kenaikan harga beras akhir-akhir ini juga disebabkan antara lain oleh rendahnya pasokan ke pasar akibat produksi yang rendah dan bila ditelusuri ke belakang juga akibat produktivitas yang masih rendah disamping masalah kekeringan yang mengakibatkan keterlambatan tanam.

Secara Nasional peningkatan produksi dapat saja dilakukan dengan penambahan baku lahan dan peningkatan luas areal tanam. Kegiatan pencetakan sawah, optimalisasi lahan yang mendukung penambahan baku lahan dan luas areal tanam sering terkendala dengan terbatasnya pasokan air irigasi. Di wilayah timur Indonesia kegiatan tersebutpun sulit untuk diterapkan karena curah hujan yang relatif rendah

Pentingnya produktivitas harus menjadi basis kinerja dan ukuran dari organisasi pertanian di tiap levelnya. Kita juga pernah menjadikan produktivitas sebagai acuan kinerja pada saat pelaksanaan intensifikasi melalui pola Bimas dilaksanakan masalahnya mungkin adanya sebagaian kecil laporan-laporan “ABS” yang dibesar-besarkan.

Peningkatan produktivitas tanaman kedepan harus menjadi perhatian yang serius kalau tidak mau terus ketinggalan dari negara-negara lain. Menjadikannya sebagai suatu gerakan Nasional perlu difikirkan terutama dalam revitalisasi pertanian yang sudah dicanangkan.

Gerakan peningkatan produktivitas haruslah melihat akar permasalahannya bukan sekedar dipermukaan saja, seperti bantuan saprodi selama ini, harus spesifik lokasi, tidak ada masalah klasik dan modern selama pembahasannya masalah produktivitas. Para pakarpun tidak akan marasa ketinggalan zaman kalau berbicara tentang kahat Zn (seng) di daerah- daerah dimana pemupukan TSP (Fosfor) nya tinggi dan intensif yang mengakibatkan produktifitas padi sawah didaerah tersebut rendah, juga tidak disepelekan bila mendiskusikan hubungan jarak tanam dan dosis pupuk terhadap produksi dan banyak lagi komponen teknologi lainnya yang kelihatannya masalah klasik tapi itulah masalah di lahan petani sekarang ini.

Pelandaian produksi akibat pengelolaan tanah yang intensif dalam kurun waktu lama menyebabkan tanah lelah (exhausted soil), sudah lama didiskusikan bahkan dengan pemecahannya seperti pengaturan pola tanam, pemakaian bahan organik, pemupukan berimbang (balance fertilizer) dan lain-lain.

Peningkatan produktivitas padi sawah dengan berbagai konsep seperti pemakaian TSP+, ZPT/PPC, Tabela, pengelolaan tanaman terpadu, penggunaan benih hibrida tidak berumur panjang, sehingga sering membingungkan petugas lapang/PPL yang selalu mendengar kata-kata multi years program, dan integrated program. Benih padi hibrida masih mahal dan sulit diperoleh. Kelangkaan pupuk urea menyebabkan rekomendasi teknologi tidak mungkin dilaksanakan, belum lagi  kahat unsur hara lainnya yang belum dideteksi dan ada yang sudah dideteksi tapi rendahnya kemampuan petani menjadikannya tetap menjadi masalah. Hal ini yang mungkin menyebabkan masih besarnya diskrepansi tingkat produktivitas lembaga penelitian dan petani. Rata-rata produktivitas padi Nasional 4,6 ton/ha sedangkan hasil-hasil penelitian 7,0 – 8,0 ton per hektar.

Dukungan teknologi dalam peningkatan produksi/produktivitas beberapa tahun terakhir ini terasa kurang. Para pakar pun terasa segan kalau berbicara tentang kahat unsur, unsur mikro, adaptasi varietas, rhizobium, leaf area index, anomali iklim, yang sudah dianggap masalah klasik walaupun petani kita masih dalam tataran hal tersebut. Lebih lanjut kita lihat BPP yang seharusnya sebagai home base petani baru akhir-akhir ini mungkin mulai difungsikan lagi setelah sekian lama stagnan.

Diskusi-diskusi teknologi yang biasa dilakukan oleh penyuluh sekarangpun seperti kurang materi karena pengujian-pengujian sederhana (simple trials) yang biasa dihandle oleh Dinas Pertanian di daerah tidak ada lagi, sedangkan untuk mendukung rekomendasi teknologi hal ini sangat penting. Rekomendasi teknologi yang ada sering sudah tidak sanggup mengikuti dinamika lingkungan pertanian.

Peningkatan produktivitas adalah yang sangat mungkin dilakukan bersama oleh pemerintah dan petani untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Akses petani ke pasar sangat lemah apalagi jika diharapkan petani dapat mempengaruhi pasar. Gerakan peningkatan produktivitas dengan demikian menjadi salah satu solusi peningkatan produksi dan pendapatan petani dipedesaan.

Sinergisitas Program

Lambatnya negara agraris ini keluar dari negara pengimpor pangan tidak lepas dari kurang sinergisnya program pusat dan daerah. Program pusat sering ada jiwa tapi tanpa badan akibatnya sulit dijalankan didaerah, karena daerah juga ingin punya badan dan jiwa yang lain, sebenarnya ini wajar saja di era otonami daerah, tapi yang penting adalah bagaimana membangun jiwa dan badan secara bersama untuk Indonesia Raya.

Mensinergikan APBN dan APBD dalam peningkatan produktivitas adalah sangat penting sehingga menjadi kekuatan besar yang dengan program-program yang akurat diharapkan dapat memecah tembok levelling off, lebih lagi jika dapat di sinergikan dengan DAK pertanian. Untuk itu perlu PEDUM dalam pelaksanaan kegiatan yang sumber dananya dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sehingga keluhan Menhut terhadap DAK disektornya tidak terjadi disektor Tanaman Pangan.

Sinergisitas program peningkatan produktivitas juga sebaiknya dilakukan dengan pengelola Sumber Daya Air karena berbicara produktivitas adalah berbicara teknologi sedangkan teknologi pertanian dapat diterapkan bila ada air. Kelebihan pola Bimas antara lain pada koordinasinya yang ada pada setiap level administrasi pemerintahan.

Pada tahun 2007 Dijentan akan memberikan subsidi benih kepada petani pangan. Program ini juga merupakan upaya peningkatan produktivitas dan produksi sekaligus merupakan upaya dalam peningkatan pendapatan petani.

Hal yang perlu dikritisi dalam pelaksanaannya adalah agar benih unggul bermutu bersertifikat ini benar-benar bisa tepat varietas, mutu, jumlah dan tepat waktu sampai ke petani.

Bagi petugas lapangan diharapkan lebih selektif dalam menyalurkan bantuan. Kepada petani yang sudah “benih minded” subsidi benih sebaiknya tidak diberikan lagi karena akan mematikan kreativitas petani. Untuk petani/kelompok tani ini dapat dialokasikan bantuan lain dari sumber dana yang direncanakan.

Mengintegrasikan subsidi benih dengan komponen produksi lainnya seperti pupuk sangat penting, mengingat benih unggul bermutu bersertifikat tanpa pemupukan yang cukup juga tidak memberikan produktivitas yang optimal, dana pupuk sebagian diharapkan dari APBD. Dilokasi-lokasi kelompok tani penerima subsidi perlu juga dilakukan pengamanan produksi oleh Pengamat  Hama Pertanian (HPH).

Rekayasa Sosial

Meningkatkan produktivitas tanaman pada sistim pertanian yang subsisten dengan pemilikan tanah yang sempit tentu tidak bisa dengan mengandalkan teknologi saja Dibutuhkan suatu rekayasa sosial untuk mendinamisir cakupan wilayah yang akan diterapkan petani, untuk itu peran kelompok tani dan kontak tani dengan penyuluh pertanian sebagai “change agent” dalam suatu sistim penyuluhan yang disesuaikan dengan kondisi daerah menjadi sangat strategis.

Kelompok-kelompok tani bukan hanya di tumbuhkan pada saat ada bantuan atau untuk mendukung acara-acara serimonial yang banyak menghabiskan biaya dan waktu.

Kelompok-kelompok tani yang merupakan unit produksi dan setelahnya menjadi unit agribisnis haruslah berada dalam suatu pembinaan yang kontinu dengan melibatkan berbagai Dinas/Instansi seperti Depkop dan UKM, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Sub Dolog di kabupaten, BUMN dan BUMD serta organisasi kemasyarakatan lainnya.

Kelompok-kelompok tani juga akan dengan cepat mengadopsi teknologi bila mereka mempunyai modal, untuk itu harus ada skim kredit khusus bagi petani dengan bunga yang rendah, diberikan secara selektif.

Diharapkan dengan pola ini tembok levelling off produksi pangan dapat dilebur sehingga Indonesia beralih secara perlahan tapi pasti menuju kemandirian pangan.

(Ir Marwan HM, MS pemerhati masalah pertanian, tinggal di Banda Aceh).

UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH
BALAI PENGAWASAN DAN SERTIFIKASI BENIH TANAMAN PANGAN, HORTIKULTURA DAN PERKEBUNAN
DINAS PERTANIAN DAN PERKEBUNAN ACEH

Jln. Panglima Nyak Makam No.30 Telp. (0651) 7551680, 7551679, E-Mail : bpsbtphp[at]acehprov.go.id, Lampineung Kota Banda Aceh
Hak Cipta di Lindungi Undang-Undang, Aceh-Indonesia 2014-2024